Hakikat Emansipasi
Wanita
A. Prolog
Emansipasi wanita tentu bukan lagi
‘barang’ yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan
didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum
seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan
persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. (Lihat
Kamus Ilmiah Populer)
Lantas siapakah pengusungnya dan apa
targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah
untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang
bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung
hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya.
Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang
kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan
melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.
Demikianlah salah satu gerakan propaganda
(usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga
amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan),
karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan
umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut.
Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu
kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama
Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya
agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Mereka
berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir
benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik
benci.” (Ash-Shaff: 8-9)
Di
antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan-Nya
terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang
senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh
para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan
penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.
Sejarah Kaum
Wanita dalam Peradaban Umat Manusia
Catatan
sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat
memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina.
Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak
wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi
kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan
dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan
buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
(An-Nahl: 58-59)
Demikian
pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa
kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan
nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya. (Lebih rincinya lihat Al-Huquq
wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan)
Lalu
bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya
dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang
dipropagandakan para pengusung emansipasi?
Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka
ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala
bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta
memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada
seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri
ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan
nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai sekalian manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita,
serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah
adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Kaum
wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau
simposium-simposium, untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut
hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan
umat Islam pun mengimaninya.
Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak
pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
لاَ هُنَّ حِلٌّ
لَهُمْ وَلاَ هُمْ
يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang
beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka
benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan
orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah
tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.”(Al-Ahzab: 58)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam
siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang
mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam.
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya
orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan
mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan
bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10)
Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ
لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada
sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu
dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19)
Apabila
musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama
Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati.
Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala
menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang
merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita.
Demikianlah
berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan
didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang
diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat
dan martabat kaum wanita.
Lebih-lebih
di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita
benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan
dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di
keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga
dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang
iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan
ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media,
demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan-pemandangan
porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan
statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar
nikah) dan jumlah anak jadah/haram.
Ini semua merupakan hasil (baca: akibat)
dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan
telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak.
Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk
dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan
(syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam
baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk
masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan
dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam,
Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi
Para pembaca, sedemikian bijaknya sikap
Islam terhadap kaum wanita dan juga kaum lelaki. Namun para pengusung
emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim, melalui agama Islam ini. Mereka
menyoalnya, menentangnya dan mencemooh Islam dengan slogan-slogan klasik yang
acap kali mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun
yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tak peduli haq ataukah
batil.
Padahal
dengan gamblangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur`an:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi kaum
lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita
(istrinya).” (Al-Baqarah: 228)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.” (An-Nisa`: 34)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan istri ‘Imran):
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan istri ‘Imran):
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى
“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak
wanita.” (Ali ‘Imran: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir
rahimahullahu berkata: “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ketabahan dalam
beribadah dan mengurus Masjid Al-Aqsha.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Sisi
pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Islam tidak membedakan antara
kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.
Pendalilan tersebut tidaklah bisa
dibenarkan, karena:
- Ayat di
atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki
(para suami) atas kaum wanita (para istri). Kelanjutan ayat tersebut adalah:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
- Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (Az-Zukhruf: 18)
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam
keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam
pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara
penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula
dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki,
demikian pula dalam hal persaksian. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan
mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut
khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qadir, 4/659)
- Di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum
lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki
cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan
antara keduanya rasa kasih dan sayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Manakala kaum wanita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk (kenikmatan) kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.
-
Asal-muasal
wanita (Hawa) adalah dari tulang rusuk lelaki (Nabi Adam ‘alaihissalam). Atas
dasar itulah, maka kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.
-
Di antara
ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
-
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini
adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak yang sama antara
laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada
perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban
kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.
Para pembaca, pendalilan mereka tentang
ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang
sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
- Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
- Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
“Allah menjadikan untuk
kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari
para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang
baik-baik.” (An-Nahl: 72)
- Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari
(pembagian) orang-orang musyrik yang menjadikan (menganggap) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, dan anak-Nya adalah wanita. Sementara mereka
memilihkan untuk diri mereka sendiri anak laki-laki. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى
“Maka apakah patut bagi kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (milik kalian), dan Manat yang ketiga yang paling terkemudian (sebagai anak wanita Allah)?! Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) wanita?! Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni apakah kalian menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak dan anak-Nya adalah wanita, sementara kalian memilihkan untuk diri kalian sendiri anak laki-laki?! Padahal jika seandainya kalian berbagi (anak) sesama kalian dengan pembagian semacam itu, niscaya itu merupakan pembagian yang tidak adil. Bagaimanakah kalian berbagi dengan Rabb kalian dengan cara seperti itu, sementara bila hal itu diterapkan pada sesama kalian termasuk suatu kejahatan dan kebodohan?!” (Tafsir Ibnu Katsir)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita.
-
Di antara balasan mulia bagi orang-orang
beriman lagi beramal shalih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah para istri
yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di
atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا
رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ
ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا
هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا
مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا
بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ
فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ
وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)
- Seringkali ketika Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyebutkan pahala dan kesudahan mulia bagi orang-orang yang beriman dan
bertakwa, dengan mencukupkan penyebutan lafadz laki-laki (mudzakkar) yang
dimaukan pula cakupannya untuk kaum wanita. Contohnya; Surat An-Naba` ayat
31-35 di atas, dengan mencukupkan penyebutan lafadz اَلْمُتَّقِينَ yang hakikatnya mencakup pula orang-orang yang beriman dan
bertakwa dari kaum wanita. Cara penyebutan seperti ini menunjukkan bahwa kaum
lelaki posisinya di atas kaum wanita.
Kaum
wanita adalah orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal, sehingga
tidaklah bisa disamakan dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.
“Wahai sekalian kaum
wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang
menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). Mereka berkata: ‘Dengan sebab
apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘(Karena)
kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan
oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang minim
dalam hal agama dan akal yang dapat mengendalikan jiwa seorang lelaki (suami)
yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah
yang menunjukkan minimnya agama dan akal kami wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bukankah
persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’,
kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: ‘Maka itulah di antara
keminiman akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak
melakukan shalat dan shaum?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menimpalinya: ‘Maka itulah di antara keminiman agamanya.”
(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
–hafizhahullah– berkata: “Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang minimnya
agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa keminiman ini merupakan salah satu
sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar
terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini
terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu
orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah minimnya akal pada mereka.” (Al-Huquq
wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam,)
Epilog
Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:
Epilog
Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:
-
Emansipasi wanita adalah gerakan untuk
memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam
hukum bagi wanita. Ia merupakan propaganda musuh-musuh Islam yang ditargetkan
untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dan menjerumuskan kaum wanita
ke dalam jurang kenistaan.
- Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/melebihi kedudukan kaum lelaki.
- Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi.
- Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/melebihi kedudukan kaum lelaki.
- Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi.
-
Wallahu a’lam bish-shawab.
-
'1 Kebanyakan dari bantahan yang ada
dalam sub judul ini, disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali -hafizhahullah- dalam Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa`
fil Islam, dengan beberapa perubahan dan tambahan (-pen).
DAFTAR BACAAN
M.D.Dahlan, Konsep Manusia
Berkualitas Yang Dipersepsi Dari Al-Qur'an, Al-Hadits dan Qoul Ulama, Makalah
Seminar Nasional Fakultas Syari'ah dan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, tanggal, 19 Maret 1990.
Muhammad Jamaluddin Alqasimi
Addimasyqi, Mau'izhatul Mukminin min Ihya' 'Ulumuddin" Imam
Alghazali", Al-Maktabah At-Tijjariyyah al-Kubro (tidak bertahun),
Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, 1973.
Musya Asy'arie, Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran,
Mizan, Bandung, 1996.
Sukirin,
Pokok-pokok Psikologi Pendidikan, FIP-IKIP, Yogyakarta, 1981