FIQIH LINTAS AGAMA
(Membedah Model Fiqih Baru di Indonesia)
Oleh: Moh. Subhan
Pendahuluan
Semangat “berislam” yang semakin meningkat akhir-akhir ini di Indonesia layak mendapat apresiasi positif sebagai kehendak memperjuangkan keyakinan dan idealisme. Hanya saja semangat yang begitu bergelora itu mengandung pandangan tidak bersahabat terhadap kelompok lain, terutama non-Islam. Ia tampak paradoks, karena di satu sisi ia memperjuangkan agama yang dikenal luhur, tapi di sisi lain justru merendahkan kelompok dan agama lain. Keyakinan sebagai “tentara Tuhan” (istilah Khaleed Abou el Fadl dan anggapan kelompok dan agama lain sebagai kelompok sesat begitu kuat tertanam dalam pandangan mereka sehingga terwujud dalam prilaku yang tidak kondusif bagi pembentukan masyarkat harmonis di tengah pluralitas agama di Indonesia.
Ironisnya prilaku tak bersahabat tersebut mendapat legitimasi dari fiqih klasik, sebagai disiplin yang mengatur prilaku umat Islam. Misalnya, bekerja sama atau membantu non-muslim berarti membantu kejahatan, dilarang mengucapkan berbagai ucapan selamat, apalagi menghadiri berbagai upacara keagamaannya. Bahkan legitimasi fiqih diskriminatif tersebut ditarik lebih jauh ke tindakan anarkis sehingga bisa diabsahkan dengan alasan satu kata “jihad”, seperti menghancurkan tempat ibadah dan mengambil atau merusak hak milik.
Tentu saja ia tidak produktif bagi upaya penciptaan masyarakat yang harmonis di tengah masyarakat mulitireligius seperti Indonesia. Fiqih menjadi tidak sehat sebagai perangkat yang mengatur pola hidup masyarakat Islam yang semestinya menjadi “komunitas terbaik” (khair ummah) (Q.S. Ali Imran: 110). Dengan fiqih seperti ini Islam tidak bisa hadir sebagai berkah bagi semua umat manusia (rahmatan li al-‘alamin) (Q.S. Al-Anbiya’: 107) sebagaimana tujuannya. Kondisi inilah yang mendorong para pemikir Islam untuk meninjau kembali fiqih yang mengatur hubungan antar agama. Karena itu kehadiran buku Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina 2004) sebagai eksperimen ilmiah rintisan. Ia memiliki peran strategis bagi upaya keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara. Buku ini lahir dari sekelompok pemikir sebagai tim di bawah bendera Paramadina: Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF. Hasil diskusi itu kemudian disunting oleh Mu’im A Sirri dan diterbitkan menjadi buku.
Berakar Dari Teologi
Tak terkecuali sains Barat yang mengklaim netral dan bebas nilai, ia juga tidak lepas dari asumsi-asumsi filosofis yang mendasarinya, yang oleh Attas disebut asumsi sekuler. Asumsi filosofis tersebut merupakan pandangan dasar yang kemudian mempengaruhi metodologi dan selanjutnya mempengaruhi teori-teori yang ditemukannya. Maka kesalahan asumsi filosofis atau pandangan dunia akan mempengaruhi metodologi dan selanjutnya juga memberikan pengaruh pada hasil-hasilnya yang bersifat partikular. Karena itu, jika terjadi persoalan dengan hasil atau teori suatu disiplin, berarti ada persoalan pada metodologinya. Suatu metodologi dirumuskan berdasar asumsi filosofis atas realitas obyek disiplin terkait. Kaji ulang atas asumsi filosofis dan metodologi, atau paradigma (dalam pengertian umum) dalam bahasa Thomas S. Kuhn, dilatari oleh terjadinya anomali atau penyimpangan, ketidaksesuaian atau dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu teori atau produk suatu disiplin yang ditemukan dalam perubahan ruang dan waktu.
Dalam bidang fiqih, para peneliti berkesimpulan bahwa ia selalu terkait dengan teologi. Bahkan J. Schacht menunjukkan simbiosis tertentu antara mazhab fiqih dan aliran teologi di sepanjang sejarahnya. Malcolm H. Kerr lebih jauh menegaskan bahwa hukum Islam mempunyai dasar yang sangat kukuh dalam teologi. Artinya, pandangan-pandangan teologis mempengaruhi fiqih sebagai produk melalui metodenya, ushul fiqih. Pandangan teologis tertentu dapat mempengaruhi cara menetapkan hukum dari sumber-sumbernya yang berupa nas Alquran dan hadits. Perubahan pandangan teologis yang dapat berakibat pada perubahan ketetapan fiqih dan ushul fiqih bisa diakibatkan oleh berbagai pengalaman hidup bermasyarakat atau masuknya pengaruh-pengaruh dari luar.
Pengalaman persaingan terutama antara Islam dan Kristen telah terasa sejak Kristen masuk ke Indonesia bersama kaum kolonial. Kristenisasi dianggap umat Islam sebagai ancaman bahkan diidentikkan dengan penjajah. karena itu, sejak 1854 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan bahwa setiap usaha penginjilan harus mendapat izin dari pemerintah kolonial. Perlawanan terhadap Kristen sekeras perlawanan terhadap penjajah, sementara kaum kristiani dihantui kekhawatiran kesewenang-wenangan kelompok mayoritas (Islam) atas minoritas. Tarik menarik tentang dasar negara sejak sidang BPUPKI sampai kelahiran penetapan Pancasila juga tak lepas dari persaingan ini. Missionarisme yang terus berlangsung dirasakan sebagai ancaman bagi umat Islam sehingga pemerintah merasa perlu mengeluarkan aturan penyebaran agama (SK Menag No. 70 dan 77/ 1978; juga SKB Menag dan Mendagri No. 1/1979). Tentu kelompok Kristen menilai aturan ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
Persaingan, perselisihan, saling curiga dan sejenisnya terus berlanjut menyangkut segala aktivitas sosial dan politik, sekalipun pemerintah terus berupaya menciptakan kerukunan melalui Proyek Kerukunan Hidup antara Umat Beragama yang rutin mengadakan pertemuan bersama pada era Mukti Ali (1971-1978). Dengan segala keterbatasannya, proyek ini tentu merupakan langkah penting. Wacana tentang arti penting kerukunan hidup dan toleransi agama semakin dipahami oleh para pemeluk agama.
Pengalaman pahit getirnya ketidakharmonisan telah memberikan banyak pelajaran untuk lebih serius menggalakkan kerukunan. Kondisi ini mendapat angin segar dengan masuknya ide-ide demokrasi dan keterbukaan, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet. Ide demokrasi dan keterbukaan tidak lepas dari gagasan tentang kemanusiaan yang dijunjung tinggi hak-haknya. Semua warga negara diperlakukan tanpa dibedakan berdasar ras, suku dan agamanya.
Di samping tafsir ulang atas ajaran agama, fenomena ini juga melahirkan keterbukaan dalam wujud dialog-dialog antar agama. Kesadaran bahwa kedamaian dan kemanusiaan adalah inti ajaran semua agama terus dikampanyekan. Rekonstruksi teologis ini tidak sekedar meneguhkan tolerasi yang hanya membiarkan agama lain, tapi juga memunculkan sikap inklusif berupa penghargaan terhadap agama lain sebagai sesama keyakinan. Bahkan lebih jauh juga melahirkan gagasan pluralis yang melihat semua agama memiliki dasar-dasar kebenaran yang sama, yang hanya dibedakan oleh ritus dan praktek yang bersifat teknis dan parsial.
Secara umum muncul kesadaran bahwa agama tidak hanya untuk membela Tuhan dan simbol-simbol identitas atau kelompoknya sendiri. Yang lebih penting adalah bahwa agama harus membela kemanusiaan secara universal melintasi sekat apapun. Agama bersumber dari Tuhan untuk manusia, atau dalam bahasa Muhammad Imarah al-islam ilahiy al-mashdar wa insaniyyat al-maudhu’. Penganut agama lain adalah juga manusia dengan hak yang sama untuk hidup dengan keyakinannya, adalah juga hamba Tuhan yang sama-sama menuju ke jalan kebaikan. Pandangan ini jelas bergeser dari pandangan teologis sebelumnya yang melihat agama sebagai institusi yang harus dibela dan kelompok lain sebagai musuh, sesat, kafir, celaka, karena itu harus diperangi atau minimal dipinggirkan. Dalam Islam ajaran kehanifan (hanifiyah) menjadi konsep sentral yang mengajak untuk mencari titik temu dengan agama lain. Kepasrahan tulus pada Tuhan berarti membebaskan segala bentuk penghambaan dan penindasan terhadap seluruh umat manusia yang melintasi sekat-sekat suku, etnis, agama dan golongan.
Pandangan-pandangan ini menuntut revisi atas ketetapan-ketapan fiqih warisan zaman klasik yang cenderung diskriminatif sehingga sangat tidak memadai atau bahkan kontraproduktif dengan semangat zaman kini. Karena itu perlu dilakukan revisi yang tidak boleh tidak harus memasuki wilayah epistemologinya. Kerangka pikir fiqih klasik yang sangat bertumpu padan teks tidak lagi memadai untuk merumuskan fiqih kontemporer. Karena bagaimanapun banyak teks (nash Alquran dan hadits) yang jelas-jelas terkurung oleh ruang dan waktu tertentu dan sudah tidak cocok dengan masa kini. Bahkan secara umum, fiqih klasik terlalu teosentrik sehingga cenderung otoriter sekaligus banyak berbicara dalam konteks interaksi lintas agama yang tidak harmonis.
Dalam praktek perumusan fiqih, epistemologi tradisional sangat bertumpu pada teks, tanpa banyak mengindahkan konteks, sehingga fiqih dianggap sebagai ketetapan Tuhan yang universal yang akan membawa kemaslahatan, langsung atau tidak. Dalam fiqih yang mengatur interaksi lintas agama, terbukti bahwa fiqih yang lahir dari rahim epistemologi di atas justru menimbulkan bencana. Berbagai ketetapan fiqih yang cenderung memarginalkan penganut agama lain sangat tidak bisa dipahami oleh akal kini. Untuk itu diperlukan cara baru untuk memahami teks-teks keagamaan. Hal itu didasarkan pada keyakinan bahwa agama pasti membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Fiqih Lama dan Fiqih Baru
Revisi atas fiqih diskriminatif kemudian melahirkan fiqih egaliter dengan berpegang pada prinsip ajaran Islam. Revisi ini diperlukan, karena fiqih yang mengatur interaksi lintas agama telah ada sejak dulu. Tapi fiqih tersebut dirasakan tidak lagi cocok dengan semangat zaman kini, yang memerlukan fiqih yang egaliter dan humanis. Yang terkait dengan ritus misalnya mengucapkan salam atau ucapan selamat atas perayaan hari besar, menghadiri upacara keagamaan dan doa bersama serta masuk tempat ibadah. Sedang interaksi lintas agama yang perlu direvisi adalah konsep-konsep tentang ahlal-dzimmah, jizyah, larangan kawin beda agama dan pewarisan antar anggota keluarga yang berbeda agama.
Dalam persoalan ritus yang selama ini dianggap sebagai wilayah sakral dan tidak boleh disentuh nalar, pandangan fiqih lintas agama tetap menggunakan penalaran dengan bertumpu pada kemaslahatan untuk mencapai tujuan dasar syariah (maqashid syari’ah). Ini dilakukan dengan melihat konteks nash yang menjadi dasar ketetapan hukum. Kasus larangan mengucapkan salam kepada non-muslim bisa dilihat sebagai contoh. Dengan melihat tujuan dasarnya untuk mempererat tali jiwa dan mengharmoniskan perasaan, maka hal ini dirasa penting dalam konteks Indonesia saat ini, yang sangat memerlukan perekat lebih kuat antar agama. Nabi saw sendiri juga pernah mengucapkan salam salam suratnya kepada Raja Negus (Najasyi). Karena itu, hadits yang secara tekstual melarang mengucapkan salam tidak bisa diposisikan sebagai ralat (naskh) atas praktek Nabi saw. Yang lebih penting dilihat adalah konteksnya. Karena masing-masing nash memiliki konteksnya sendiri yang tidak akan berseberangan dengan kemaslahatan sebagai tujuan dasar. Larangan berdasar hadits Nabi tidak lepas dari konteks sikap penganut agama lain (terutama Yahudi) pada saat itu yang sangat memusuhi dan selalu menghina umat Islam. Karena itu, dalam konteks di luar itu, pengucapan salam tidak dilarang.Dalam haditsnya Nabi bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِه
Pertimbangan kemaslahatan seperti itu juga dapat terlihat pada dasar hukum yang memperbolehkan menyampaikan ucapan selamat kepada penganut agama lain terkait dengan perayaan hari-hari besanya, misalnya mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani, yang bertujuan memperat pergaulan dan persaudaraan, bukan beriman atas ajarannya.
Pertimbangan serupa juga terlihat pada ketetapan hukum yang membolehkan menghadiri doa bersama. Maka hadits yang melarang mendoakan orang musyrik dan munafik juga dipahami dalam konteksnya sendiri, yakni pada mereka yang sudah meninggal karena dianggap tidak ada gunanya. Sementara untuk yang masih hidup, Nabi saw sendiri pernah mendoakan masyarakat Thaif yang melempari dan menolak kehadiran beliau di daerahnya.
اللهم اهد قومي فانهم لا يعلمون
Juga ditegaskan bahwa kaum musyrik dan munafik tidak berarti Ahlul Kitab. Karena tidak semua penganut agama lain mesti musyrik dan munafik. Untuk yang baik tidak dilarang mendoakannya. Bahkan Nabi saw. sendiri melakukan shalat ghaib bersama para sahabatnya setelah mendengar Raja Negus wafat berdasar riwayat Bukhari. Selain itu, berbagai doa bersama juga tidak perlu dipersoalkan.
Demikian juga dengan hukum masuk mesjid bagi non-muslim. Nabi saw. pernah mempersilahkan tamunya, Uskup Najran, untuk masuk dan melakukan ibadah di masjid Madinah. Larangan masuk masjid hanya bagi orang-orang yang akan menodai kesucian mesjid sebagai tempat ibadah, apalagi merusaknya. Sementara Umar yang tidak mau masuk ke sebuah gereja di Syiria tidak lepas dari persoalan politis untuk tetap menjaga independensi tempat ibadah dan tidak bisa disentuh penaklukan. Yang sepertinya tidak bisa ditawar adalah persoalan masuk ke Tanah Haram.
Semangat egalitarianisme semakin tampak terlihat pada tafsir ulang atas beberapa ketetapan yang terasa tidak adil. Misalnya, konsep ahl al-dzimmah dan jizyah, larangan pernikahan dan kewarisan beda agama. Konsep ahl al-dzimmah memposisikan kelompok non-Islam sebagai masyarakat kelas dua (muwathin bi al-darajah al-tsaniyah). Mereka hanya boleh hidup di sebuah negara Islam tapi tidak memiliki hak yang sama seperti warga negara muslim, seperti hak menduduki jabatan strategis. Perlakuan seperti ini dinilai merupakan penyimpangan dari semangat awal kelahiran konsep ahl al-dzimmah, yaitu perlindungan dan pembelaan atas warga non-muslim sebagai warga negara tanpa pembedaan dengan warga muslim. Karena dalam beberapa haditsnya Nabi saw sendiri menegaskan –antara lain-- bahwa “Barang siapa yang menyakiti seorang zimmi maka saya adalah musuhnya. Dan barang siapa yang menjadi musuh saya, maka saya akan memusuhinya di Hari Kiamat. Segala bentuk diskriminasi terhadap agama lain adalah penyimpangan inti ajaran Islam.
Konsep ahl al-dzimmah terkait dengan penetapan jizyah, sebagai upeti atas perlindungan, jaminan keamanan dan kebebasan dari kewajiban mempertahankan negara, serta hak-hak sipil tertentu yang sejajar dengan kaum muslim dengan landasan normatif Q. S. 9: 29. Konsep jizyah inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya ahl al-dzimmah sebagai komunitas yang mendapat perlakuan tidak sama dengan warga negara lain. Di negara modern yang menganut demokrasi, jizyah tidak relevan lagi, dan kajian pada landasan normatifnya harus dilakukan lebih kritis dengan melihat konteksnya secara lebih luas. Konsep yang semula berasal dari tradisi pra-Islam diterapkan kepada warga yang semula sebagai lawan di daerah penaklukan sebagai kesepakatan atas jaminan ketertiban di bawah rezim yang berkuasa. Yang bisa dipertahankan sampai saat ini adalah nilainya sebagai simbol perlindungan terhadap non-Muslim, bukan lembaga pemerasan.
Yang tak kalah rumitnya dalam upaya membangun interaksi lintas agama adalah larang kawin beda agama. Hukum ini didasarkan pada Q.S. 2: 221. Ayat yang secara harfiah melarang kawin dengan orang musyrik ini ditarik ke Ahli Kitab, padahal keduanya tidak identik. Karena tidak jarang ayat Alquran membedakannya dengan menyebutnya sendiri-sendiri dengan menggunakan waw (huruf ‘athaf) sebagai dua entitas yang berbeda (Q.S. 2: 105; 98: 1), di samping memang ada ayat yang terlihat mengidentikkan keduanya (Q.S. 9: 30-31). Dari sini ketetapan tersebut dapat digugat, bahwa tidak semua Ahli Kitab musyrik sehingga tergolong kafir. Larangan itupun sangat terkait dengan situasi perang yang memungkinkan pembelotan dan pemaksaan akidah dari salah satu pihak. Apalagi Ahli Kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nasrani memang merupakan bagian masyarakat tersendiri di samping kafir Mekkah. Gugatan itu diperkuat dengan penegasan Alquran sendiri yang membolehkan kawin dengan perempuan Ahli Kitab (Q.S. 5: 5). Hudzaifah dan Thalhah (keduanya sahabat Nabi sawi) jelas melakukannya. Sedang hadits yang melarang laki-laki Ahli Kitab mengawini perempuan Muslimah dinilai tidak shahih dan tergolong mauquf menurut Syafi’i. Pernikahan beda agama yang merupakan wilayah ijtihadi dapat menjadi langkah strategis bagi upaya memperlakukan sama tanpa diskriminasi terhadap pemeluk agama lain serta usaha menciptakan kerukunan yang lebih kokoh.
Sikap diskriminatif itu juga terlihat pada hukum waris yang tidak membolehkan Ahlul Kitab untuk mendapat warisan. Memang terdapat hadits yang secara tekstual melarang hal itu (lagi-lagi hadits yang ini berbicara tentang orang kafir, bukan non-Muslim). Walaupun demikian, masih terjadi perselisihan pendapat. Di antara yang tidak membolehkan antara lain Mazhab Syafi’i. Tapi Mu’adz bin Jabal dan Sa’id ibn al-Musayyab membolehkannya berdasar analogi pada pembolehan menikahi Ahli Kitab. Pelarang itu jika dilacak lebih jauh tidak lepas dari persoalan politik tidak sehat antara Islam dan masyarakat kafir yang saling bersaing memperebutkan segala sumber daya untuk berkuasa. Karena itu diperlukan pengembalian ketetapan waris pada semangat awalnya, yakni mempererat hubungan keluarga berdasar hubungan darah (nasab), keluarga (ulu al-arham) dan menantu-mertua (shahr). Tentu tidak logis jika boleh menawini Ahli Kitab tapi tidak boleh mewarisi karena perbedaan agama.
Dari Literal ke Liberal
Fiqih yang berada di garis depan tidak lagi bisa menjawab persoalan interaksi antar umat beragama yang tidak sehat, bahkan menjadi pendorong, sehingga ia tidak bisa mewujudkan misi universal Islam: berkah bagi seluruh alam. Dalam hal ini fiqih telah mengalami krisis dan diperlukan revolusi keilmuan untuk mengatasinya. FLA berupakan wujud nyata revolusi keilmuan yang dilakukan dengan memeriksa kembali paradigma fiqih klasik yang berupa asumsi-asumsi teologis. Kaji ulang atas paradigma tersebut, langsung atau tidak, mendapat angin segar dari isu-isu global tentang gagasan kemanusiaan dan demokrasi yang juga mempengaruhi interaksi antar agama, terutama di Barat.
Perombakan paradigma teologis yang sangat penting dalam hal ini adalah dari keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan pada pandangan bahwa Islam adalah salah satu agama dan jalan kebenaran. Pandangan ini mempengaruhi fokus perjuangan dari pembelaan terhadap Tuhan ke pembelaan terhadap manusia. Paradigma teologis yang baru lebih menekankan pada kehidupan nyata umat manusia daripada konsep-konsep teologis yang abstrak dan berujung pada kemutlakan Tuhan.
Paradigma teologis ini menjadi cara pandang baru yang mempengaruhi fiqih. Karena agama tidak hanya berkutat pada konsep-konsep abstrak, tapi juga prilaku sebagai perwujudan dari ajaran dasar kemanusiaannya. FLA memperlihatkan pergeseran dari fiqih diskriminatif ke fiqih egaliter berdasar pergeseran dari teologi teosentrik ke antroposentrik. Kehadiran fiqih egaliter yang lebih humanis ini meniscayakan revisi atas kerangka epistemologinya (ushul fiqih). FLA memperlihatkan pergeseran dari ushul fiqih tekstualis ke kontekstualis dengan menjadikan kemaslahatan sebagai acuan utamanya. Karena ternyata tidak selamanya makna tekstualis sesuai dengan tujuan dasar syariah dalam setiap ruang dan waktu. Teks yang berupa Alquran dan hadits adalah teks yang tidak bisa lepas dari sejarah. Terlebih lagi penafsirannya dalam wujud fiqih yang tidak lepas dari cakrawala pribadi penafsirnya. Karena itu fiqih tidak bisa universal, absolut dan tertutup sehingga selalu perlu tafsir ulang.
Dalam pandangan seperti di atas, terlihat warna hermeneutika dalam memahami fiqih sebagai tafsir atas teks yang melibatkan pengarang, teks dan pembacanya. Dalam hal ini Gadamer menyatakan bahwa dalam proses interpretasi terhadap teks terjadi “pembauran cakrawala” (fusion of horizon). Artinya teks memiliki cakrawala sendiri dan dalam proses interpretasinya tidak hanya berbicara dalam cakrawalanya sendiri, tapi juga melibatkan cakrawala penafsirnya sehingga hasilnya bisa beragam. Maka jika teks itu ingin tetap hidup ia harus tetap terbuka dan tidak boleh ada yang mengklaim atas kebenaran penafsirannya dan mengatasnamakan pengarang sebagai yang paling tahu.
Yang tersisa dari teks keagamaan adalah tujuan utama (maqashid al-syariah) dari suatu ketetapan tertentu yang tidak mungkin berseberangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Inilah yang absolut universal dan qath’i. Hal itu dapat diperoleh dari pemahaman holistik atas Alquran yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw. Sementara untuk ketetapan-ketetapan tertentu harus dilihat lebih jauh konteksnya, baik yang terkait langsung atau seting kultural masyarakat Arab secara umum. Jika FLA menegaskan prioritas maslahat sebagai dasar fiqih dari pada teks, tentu bukan semata-mata maslahat, tapi kemaslahatan yang digali dari misi dasar suatu teks yang merupakan rincian dari tujuan utama syariah secara umum untuk dijadikan rujukan bagi fiqih dalam konteks kini. Proses inilah yang dikonsepsikan Rahman dengan “gerak ganda”-nya (double movement). Maka FLA telah menerapkan gagasan Rahman dalam wujud nyata berupa berbagai gugatan dan ketetapan baru dalam wilayah interaksi antar umat beragama.
Secara umum, FLA tidak hanya bergerak dari tekstulis ke kontekstualis, tapi dari tekstulis ke liberal. Karena dalam keseluruhan epistemologinya, FLA tidak mengikuti pandangan ulama tertentu, tapi meracik berbagai sumber, baik klasik atau kontemporer, baik Islam ataupun non-Islam. Upaya FLA juga meniscayakan keterlibatan berbagai disiplin modern, misalnya sosiologi dan sejarah untuk memahami konteks dulu dan kini dalam teks dan perkembangan penafsirannya. Kreativitas meracik berbagai sumber untuk membangun model pemikiran baru ini yang sangat diperlukan dalam proses revolusi fiqih.
Sebagai salah satu upaya rintisan, FLA telah menghadirkan fiqih wajah baru dalam bentuk tematik, dengan membahas satu persoalan secara mendalam. Terlebih lagi ia memasuki wilayah yang selama ini riskan atau bahkan tidak bisa diganggu gugat, yaitu wilayah lintas agama. Sebagai upaya rintisan, walaupun mendalam, ia juga menyisakan bagian-bagian yang juga perlu disentuh, misalnya tentang jihad dan dar al-harb sebagai konsep fiqih klasik seperti juga ahl al-dzimmah, jizyah, perkawinan kewarisan beda agama yang dibawah FLA.
Kesimpulan
Kehadiran FLA sebagai fiqih wajah baru tidak lepas dari perubahan pandangan teologis yang menjadi paradigmanya akibat pengalaman konflik dan masuknya ide-ide baru dari luar. Kehadirannya sangat penting bagi upaya mencipatakan kehidupan berbangsa yang lebih produktif menuju kesejahteraan. Ia merupakan perwujudan konkrit gagasan pluralis yang marak di Indonesia yang selama ini masih dalam taraf gagasan-gagasan abstrak.
Rumusan-rumusannya yang baru tidak lepas dari kerangka epistemologi yang digali dari berbagai sumber tanpa harus terikat pada mazhab tertentu. Ia menghadirkan ajaran inti agama sebagai berkah bagi seluruh alam yang mengandaikan prilaku egaliter dan humanis kepada semua kelompok dalam rincian prilaku interaksi dengan penganut agama lain. Ia merupakan cermin bahwa fiqih masih dapat berperan dalam kehipan masa kini dengan fleksibilitasnya tanpa harus menyimpang dari misi utama Islam. [my moon/01/06/04]
Daftar Bacaan
Attas, Syed Muhamad Naquib Al-, Islam dan Fisalfat Sains, terj. Saiful Muzani, Bandung: Mizan, 1989.
Augros, Robert M. dan Stanciu, George N., The New Story of Science, Mind and the Universe, Gateway Editions, Chicago, 1985.
Fadl, Khaled Abou el, Melawan Tentara Tuhan, terj. Cecep Maskanul Hakim, Jakarta: Serambi, 2003.
-----, Atas Nama Tuhan, terj. Cecep Maskanul Hakim, Jakarta: Serambi, 2004.
Fayyadl, Mohammad al-, Menimbang Fiqih Lintas Agama, www.islamlib.com. (1 Desember 2003).
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, terj. E Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Bandung: Rajawali Press, 1997.
Imarah, Muhammad, Hal al-Islam huwa al-Hall; Kayfa wa Limadza, Kairo: Dar al-Syuruq, 1996.
No comments:
Post a Comment